Dahulu kala di sebelah utara kota Garut ada sebuah desa yang sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Tanahnyapun sangat subur dan tidak pernah kekurangan air sehingga hasil pertaniannyapun melimpah ruah. Namun itu berbanding terbalik dengan kehidupan para petaninya yang masih tetap miskin.
Tiap masa panen tiba penduduk selalu menjual hasil panenannya kepada seorang tengkulak yang bernama nyai nyai Endil. Nyai Endil adalah seorang janda muda yang kaya raya dan tidak mempunyai anak. Namun sifatnya sangat kikir dan pelit. Karena kekekiranya itu oleh masyarakat sekitar dijuluki Bagenda Endit yang artinya orang kaya yang pelit.
Disamping sebagai seorang tengkulak nyai Endit juga meneruskan pekerjaan suaminya sebagai rentenir di desa itu. Membeli sebagian besar lahan pertanian para penduduk dengan cara paksa yaitu dia meminjamkan uang dengan bunga yang sangat besar dan tempo yang sangat singkat, sehingga banyak para penduduk yang menyerahkan lahannya untuk jaminan.
Pada suatu hari ketika Nyai Endit sedang menghitung emas-emas yang dimikilinya datanglah seorang perempuan mengenakan baju yang sangat lusuh dan menggendong seorang bayi dating ke rumahnya. Perempuan itu berkata bahwa sudah dua hari tidak makan maka dia dating untuk minta sedekah kepada Nyai Endit, tetapi bukanyya diberi sedekah malah dibentak-bentak perempuan itu. Mendengar bentakan sang sangat keras bayi itu menangis. Kemudian perempuan itu kembali memohon kepada Nyai Endit untuk meminta sesuap nasi untuk anaknya.
Nyai Endit segera masuk ke dalam dan betapa senang hati perempuan itu, dia mengira kalau Nyai Endit akan mengambilkan makanan untuk dia dan bayinya. Namun ternyata nyai Endit keluar membawa seember air dan kemudian menyiramkannya kepada perempuan itu dan anaknya. Dengan hati yang sangat sedih pergilah perempuan itu.
Pada hari berikutnya datanglah beberapa warga meminta air untuk memasak . Karena air sumur Nyai Endit adalah satu-satunya yang bersih dan bening. Sementara warga desa harus berjalan jauh ke sungai untuk mengambil air buat masak dan keperluan lainnya. Karena sifat nyai Endit yang sangat pelit dia tidak membolehkan para warga untuk mengambil air dan langsung mengusirnya. Setelah warga berlalu tiba-tiba datanglah kakek tua renta yang berjalan menggunakan tongkat memohon untuk minta air minum. Kekesalan Nyai Enditpun memuncak sehingga tanpa berkata apa-apa dia lansung merebut tongkat sang kakek dan memukulinya sampai berdarah dan tersungkur ke tanah. Kemudian Nyai Enditpun bergegas masuk ke dalam rumahnya.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki sang kakek bangkit dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Kemudian kakek itu segera mencabut tongkat itu, suatu keajaibanpun terjadi, menyemburlah air dari bekas tongkat yang ditancapkan. Dan kakek pun menghilang entah kemana. Semburan air itu makin lama makin besar dan semua warga berlarian meninggalkan desa. Lain halnya dengan Nyai Endit dia masih sibuk untuk membawa semua harta yang dimilikinya. Dimasukan semua emasnya ke dalam peti. Airpun semakin deras dan menggenangi desa itu, nyai enditpun minta tolong karena dia tidak bias berenang dan kesulitan membawa petinya. Namun terlambat semua warga telah pergi meninggalkan desa itu. Dan Nyai enditpun akhirnya tenggelam bersama hartanya. Lama kelamaab desa itu tenggelam dan menjadi sebuah danau sehingga oleh masyarakat sekitar dinamakan Danau Situ Bagendit. Situ artinya danau yang luas dan Bagendit diambil dari nama Nyai Endit. Demikianlah asal nama Situ Bagendit.